Episkleritis


Episkleritis

Episkleritis. Episkleritis didefinisikan sebagai peradangan local sklera yang relatif sering dijumpai. Kelainan ini bersifat unilateral pada dua-pertiga kasus, dan insidens pada kedua jenis kelamin setara. Episklera dapat tumbuh di tempat yang sama atau di dekatnya di jaringan palpebra.Episkleritis merupakan reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara konjungtiva dan permukaan sklera.

Keluhan pasien dengan episkleritis berupa mata terasa kering, dengan rasa sakit yang ringan, mengganjal, dengan konjungtiva yang kemotik.Bentuk radang yang terjadi pada episklerisis mempunyai gambaran khusus, yaitu berupa benjolan setempat dengan batas tegas dan warna merah ungu di bawah konjungtiva. Bila benjolan itu ditekan dengan kapas atau ditekan pada kelopak di atas benkolan, akan memberikan rasa sakit, rasa sakit akan menjalar ke sekitar mata. Pada episkleritis bila dilakukan pengangkatan konjungtiva di atasnya, maka akan mudah terangkat atau dilepas dari pembuluh darah yang meradang. Perjalanan penyakit mulai dengan episode akut dan terdapat riwayat berulang dan dapat berminggu-minggu atau beberapa bulan.
Dikenal adanya dua jenis episkleritis: sederhana dan nodular. Sklera itu sendiri tidak terkena. Sekitar 15% pasien episkleritis akan mengalami iritis ringan.Episkelitis umumnya mengenai satu mata dan terutama perempuan usia petengahan dengan bawaan penyakit rematik.
Artritis gout merupakan radang sendi yang timbul yang sangat cepat dalam waktu singkat. Pada waktu tidur pasien tanpa gejala apa-apa. Pada saat bangun pagi terasa sakit yang hebat dan tidak dapat berjalan. Keluhan utama berupa nyeri, bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala sistemik berupa demam, menggigil dan merasa lelah. Sendi yang terkena, yaitu pergelangan tangan atau kaki serata sendi siku dan lutut.
Etiologi dari episkleritis dapat tidak diketahui, tetapi reaksi hipersensitivitas mungkin yang berperan. Penyakit-penyakit sistematik tertentu misalnya arthritis rematoid, sindrom Sjögren, koksidioidomikosis, sifilis, herpes zoster, dan tuberkulosis pernah dilaporkan berkaitan dengan episkleritis. Hubungan yang paling signifikan adalah dengan hiperurisemia dan gout. Dapat juga berupa suatu reaksi toksik, alergik atau merupakan bagian daripada infeksi. Dapat saja kelainan ini terjadi secara spontan dan idiopatik.
Patogenesis terlihat mata mera satu sektor yang disebabkan melebarnya pembuluh darah di bawah konjungtiva. Pembuluh darah ini mengecil bila diberi fenil efrin 2,5% topikal.Kadang-kadang merupakan kelainan berulang yang ringan. Pada episkleritis jarang terlibat kornea dan uvea, penglihatan tetap normal.Konjungtivitis disingkirkan dengan sifat episkleritis yang lokal dan tidak adanya keterlibatan konjungtiva palpebra.Kelainan ini bersifat jinak dan perjalanan penyakitnya biasanya sembuh sendiri dalam 1-2 minggu. Namun, kekambuhan dapat terjadi selama bertahun-tahun.
Terapi awal episkleritis adalah obata anti-inflamasi non-steroid sistemaik. Obat pilihan adalah indometasin 100 mg per hari, atau ibuprofen 300 mg per hari. Pada sebagian besar kasus, nyeri cepat mereda diikuti oleh pengurangan peradangan. Apabila tidak timbul respons dalam 1-2 minggu atau segera setelah tampak penyumbatan vaskular harus segera dimulai terapi steroid sistematik dosis tinggi. Steroid ini biasanya diberikan per oral yaitu prednison 80 mg per hari yang diturunkan dengan cepat dalam 2 minggu sampai dosis pemeliharaan sekitar 10 mg per hari.
Kadangkala, penyakit yang berat mengharuskan terapi intravena berdenyut deng metilprednisolon, 1 g setiap minggu. Obat-obat imunosupresif lain juga dapat digunakan. Siklofosfamid sangat bermanfaat tetapi dapat menjadi tambahan untuk terapi sistematik. Episkleritis dapat sembuh sempurna atau bersifat residif yang dapat menyerang tempat yang sama ataupun berbeda-beda dengan lama sakit umumnya berlangsung 4-5 minggu.
KESIMPULAN
Episkleritis sering muncul pada kasus yang diakibatkan oleh prosesreaksi hipersensitivitas. Penyakit-penyakit sistematik tertentu misalnya arthritis rematoid, sindrom Sjogren, koksidioidomikosis, sifilis, herpes zoster, dan tuberculosis, dapat juga berupa suatu reaksi toksik, alergik atau merupakan bagian daripada infeksi sebagai faktor resiko terhadap episkleritis. Serta kelainan ini dapat terjadi secara spontan dan idiopatik. Terapi medikamentosa dan konservatif diperlukan pada episkleritis walaupun penyakit ini dapat sebuh sendiri dalam waktu 4-5 minggu.