ANESTESI SPINAL SUBARAKNOID

Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Indikasi anestesi spinal  antara lain: bedah ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan sekitar rektum-perineum, bedah obstetri-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah, dan pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri yang dikombinasikan dengan anastesia umum ringan. Kontra indikasi absolute anastesi spinal meliputi pasien menolak, infeksi pada tempat suntikan, hipovolemia berat, syok, koagulapatia atau mendapat terapi koagulan, tekanan intrakranial meningkat, fasilitas resusitasi minim, kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. Sedangkan kontra indikasi relative meliputi adanya infeksi sistemik, infeksi sekitar tempat suntikan, kelainan neurologis, kelainan psikis, bedah lama, penyakit jantung, hipovolemia ringan, dan nyeri punggung kronik.

Anastesi spinal memiliki komplikasi dini maupun lambat. Komplikasi tersebut berupa gangguan pada sirkulasi (eg. hipotensi, bradikardi), gangguan respirasi (eg. apnea pada blok spinal tinggi, kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas) dan gangguan gastrointestinal (eg. nausea, muntah).

Pada kasus ini seorang laki-laki berusia 28 tahun dengan diagnosis vesikolitiasis yang akan menjalani vesikolitotomi elektif dengan status ASA I. Jenis anestesi yang digunakan adalah regional anastesi dengan teknik subarakhnoid blok yang dipilih sesuai indikasi yaitu bedah abdomen bawah, serta tidak ada kontraindikasi baik absolut maupun relatif.

Premedikasi yang digunakan pada kasus ini adalah ondancentron HCL 4 mg dan ketorolac 30 mg. Teknik SAB ini dilakukan dengan menggunakan jarum spinal ukuran 27 antara lumbal 4-5 disuntikan bupivacain 20 mg. Selama operasi berlangsung diberikan midazolam 3 mg intravena dan untuk mempertahankan oksigenasi pasien diberikan O2 3 liter/menit. Operasi selesai dalam waktu 1 jam, perdarahan dalam operasi kira-kira 70 cc. Bila pasien tenang dan stabil dengan Bromage score ≥ 3 maka dapat dipindah ke bangsal.

Ondancentron adalah suatu antagonis 5-HT3, diberikan dengan tujuan mencegah mual dan muntah pasca operasi agar tidak terjadi aspirasi dan rasa tidak nyaman. Dosis Ondancentron anjuran yaitu 0,05-0,1 mg/KgBB. Pemberian ketorolac sebagai analgetik digunakan untuk mengurangi nyeri, dengan cara menghambat sintesis prostaglandin di perifer tanpa mengganggu reseptor opioid di SSP. Dosis awal pemberian adalah 10-30 mg, dapat diulang setiap 4-6 jam, untuk pasien normal dibatasi maksimal 90 mg; untuk manula, pasien dengan BB <50 kg atau faal ginjal dibatasi maksimal 60 mg.

Pemilihan obat anastesi lokal disesuaikan dengan lama dan jenis operasi yang dilakukan. Bupivacaine merupakan anastesi lokal yang mekanismenya adalah mencegah terjadinya depolarisasi pada membran sel saraf pada tempat suntikan obat tersebut, sehingga membran akson tidak dapat bereaksi dengan asetil kolin sehingga membran tetap semipermeabel dan tidak terjadi perubahan potensial. Hal ini menyebabkan aliran impuls yang melewati saraf  tersebut berhenti sehingga segala macam rangsang atau sensasi tidak sampai ke sistem saraf pusat. Hal ini menimbulkan parestesia, sampai analgesia, paresis sampai paralisis dan vasodilatasi pembuluh darah pada daerah yang terblok.

Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan,misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Berikut langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal, antara lain:
  1. Setelah dimonitor, pasien berbaring dalam posisi dekubitus lateral dengan bantal kepala. Pasien dibungkukkan maksimal agar prosesus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
  2. Ditentukan tempat tusukan misalnya L2-3, L3-4 atau L4-5. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-5.
  3. Tempat tusukan disterilkan dengan betadin atau alkohol.
  4. Diberi anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2 % 2-3 ml.
  5. Jarum spinal besar ukuran 22G, 23G atau 25G dapat langsung digunakan; sedangkan untuk ukuran kecil 27G atau 29G, dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer) berupa jarum suntik biasa semprit 10 cc. Introducer ditusukkan sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit kearah sefal, kemudian jarum spinal dimasukkan berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau ke bawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Jika yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 900 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukkan kateter.


Hal-hal yang dapat menyebabkan kegagalan dalam tindakan anestesi regional diantaranya adalah faktor operator, faktor pasien, dan faktor obat. Faktor operator seperti tidak kompeten atau kurang mahir sehingga obat yang diinjeksikan tidak tepat masuk kedalam ruanga sub arakhnoid. Faktor pasien dimana pasien dengan ketergantungan alkohol dan obat-obat psikotropika dapat mengakibatkan ambang toleransi terhadap obat anestesi meningkat. Faktor genetik juga dapat berpengaruh terhadap ambang toleransi pasien pada obat-obat anestesi. Faktor obat meliputi cara penyimpanan dan lama penyimpanan. Bupivakain dianjurkan disimpan dalam suhu 15-25 °C. Jika tidak disimpan pada suhu yang ditentukan dapat mengakibatkan obat rusak dan dapat mengakibatkan kegagalan dalam tindakan anestesi.

Comments